
Tunisia menggelar pemilihan presiden dan anggota legislatif pada Ahad (25/10) lalu. Sebanyak empat calon presiden dan delapan partai politik bersaing memperebutkan lebih dari lima juta suara pemilih. Sementara itu, kursi parlemen yang diperebutkan sebanyak 214 kursi.
Zine al-Abidine Ben Ali yang merupakan presiden incumbent, kembali bertarung merebut jabatan untuk yang kelima kalinya setelah merebut kekuasaan dalam kudeta tak berdarah tahun 1987. Para pengamat memperkirakan Ben Ali dan partainya, Perkumpulan Demokratik Konstitusional (RDC), akan menang lagi setelah 22 tahun berkuasa di Tunisia.
Presiden Tunisia berusia 73 tahun yang berorientasi ke Barat ini menghadapi tiga orang penantang. Dalam pemilu parlemen, RDC diperkirakan akan kembali meraup mayoritas suara. Partai ini berkuasa sejak tahun 1956. Berbagai organisasi HAM dan LSM mengkritik pemerintah Tunisia sebagai diktator dengan partai tunggal, yang menekan lawan-lawan politiknya.
Dalam sebuah kampanye yang disiarkan stasiun televisi, Ben Ali mengatakan, kampanye pemilu telah dilakukan dalam kerangka hukum dan prinsip-prinsip demokrasi.
"Hukum akan diterapkan dengan ketat terhadap siapa pun yang menyebarkan keraguan atau tuduhan mengenai integritas proses pemilihan tanpa memberikan bukti nyata," katanya sebagaimana dikutip Aljazeera.
Pidato keras Ben Ali ini disampaikan seiring dengan menyeruaknya keraguan akan proses pemilu yang berlangsung, serta munculnya seruan boikot beberapa hari menjelang pemilihan. Penentang utama Ben Ali adalah Mohamed Bouchiha dari Partai Kesatuan Rakyat (PUP) dan Ahmed Inoubli dari Uni Unionis Demokratik (UDU). Adapun Ahmed Brahim dari Partai Ettajdid, tidak masuk dalam hitungan.
Ben Ali juga mengancam akan menuntut siapa pun yang membuat tuduhan-tuduhan tak berdasar tentang kejujuran pemilu. "Undang-undang akan diberlakukan bagi orang-orang yang menyebarluaskan kecemasan atau tuduhan mengenai integritas proses pemilihan tanpa memberikan bukti nyata," katanya sebagaimana dikutip Reuters.
Sebelumnya, Nejib Chebbi, presiden partai oposisi Partai Progresif Demokratik, mengaku dilarang pemerintah mengambil bagian dalam pemilihan karena rezim berkuasa tidak mendukung pemilu yang bebas dan adil. "Selama 40 tahun kami hanya memiliki satu kandidat, dan sejak tahun 1999 konstitusi telah diubah dengan cara yang memungkinkan presiden memilih pesaing sendiri," kata Chebbi.
Menurut Chebbi, para penantang seperti Bouchiha dan Inoubli tak lebih dari sekedar penggembira saja. "Tak satu pun dari mereka dapat menantang presiden karena dua dari mereka adalah antek. Dan yang ketiga tidak dapat bertemu dengan para pendudukungnya karena kewenangannya disita dan poster-poster kampanyenya tidak ditampilkan selama sepekan,” ungkap Chebbi.
Ben Ali yang didukung RDC dan hampir semua serikat buruh, terus berkuasa sejak kemerdekaan Tunisia dari Perancis pada tahun 1956. Terakhir kali kakek ini terpilih kembali adalah pada 2004 dengan lebih dari 94 persen suara. Di bawah konstitusi saat ini, ia dapat mencalonkan diri sebagai presiden untuk terakhir kalinya, karena batas usia sang kepala negara ditetapkan pada 75 tahun.
Para penentang Ben Ali menuduhnya sebagai sosok yang menekan perbedaan pendapat, walau banyak pemilih mengacunginya jempol karena ia mampu menjadikan Tunisia sebagai salah satu wilayah paling makmur kawasan Afrika utara.
Kelompok-kelompok pembela HAM melancarkan tuduhan pelanggaran pada pemerintah, karena pemungutan suara di negara itu tidak dilakukan dengan bebas dan jujur. Hal ini ditandai dengan larangan-larangan yang diberlakukan terhadap penentang Ben Ali, namun dibantah pemerintah.
“Sang Diktator”
Ben Ali mulai berkuasa tahun 1987 setelah menggulingkan Habib Bourguiba, Presiden Tunisia pertama, yang terpilih lewat pemilu sejak merdeka dari Perancis. Selama pemerintahan Ben Ali, berdasarkan penilaian Dana Moneter Internasional (IMF), Tunisia memiliki catatan bagus dalam pengelolaan keuangan.
Salah satu negara Maghribi ini juga dipuji karena memiliki fondasi ekonomi yang solid dan tetap berupaya melakukan modernisasi. Tunisia juga dijadikan model untuk bebas buta aksara, kesejahteraan sosial, dan peran perempuan dalam masyarakat. Walau demikian, Tunisia dianggap relatif sekuler dan moderat di dunia Arab, karena menjadi sekutu bisnis dan diplomatik AS dan Eropa.
Meskipun dikritik kelompok pembela HAM, mayoritas pemilih Tunisia melihat keberlanjutan kekuasaan Ben Ali adalah bagus buat Tunisia. Ben Ali telah membuat Tunisia menjadi negara paling makmur dan stabil di kawasan serta mampu menarik jutaan turis Eropa setiap musim panas. Bahkan lawan-lawannya mengakui pencapaian yang diraih “sang diktator”. ”Dia adalah penyelamat negara,” kata Nejia Azouzi, salah seorang warga Tunis.
Dalam bidang ekonomi, Ben Ali ingin mengangkat Tunisia ke jajaran negara-negara maju. Dia berkomitmen menurunkan angka pengangguran yang mencapai 14 persen selama pemerintahannya mendatang.
RDC yang memiliki anggota hingga hampir tiga juta orang dan mengakar kuat di Tunisia, diperkirakan akan menang mudah dan menguasai mayoritas kursi parlemen. Apalagi sepanjang kampanye, Ben Ali dan partainya menguasai 90 persen media cetak. Poster, foto maupun pamflet-pamflet Ben Ali terpampang di segala tempat. Sementara RDC, dengan warnah merah dan putih yang menjadi simbolnya, memadati Tunisia.
Akankah status quo bertahan ataukah terjadi perubahan, semua tergantung pada rakyat Tunisia sendiri.(Sabili.co.id)