Kolom Berita Dan Artikel

Walau masih undercontruxion, namun kami coba semaksimal mungkin untuk mempercepat pembangunan web iniselamat nikmati berita dan artikel - artikel yang kami dapat dari web web tetangga ataupun tulisan asli dari redaksi kami.

Krisis di AS Picu Pemisahan





Pemerintahan Pusat Dinilai Gagal dan Dikuasai Wall Street

Washington - Krisis ekonomi di AS memicu kenaikan pajak, tetapi diikuti dengan pembiayaan perang di seberang. Rakyat yang merasa terbebani menjadi marah. Walau belum mengkristal, isu pemisahan diri negara-negara bagian dari pemerintah pusat mulai bermunculan.

Hal ini diperburuk lagi dengan kenyataan bahwa krisis dipicu kebangkrutan korporasi besar yang mendominasi bursa Wall Street, tetapi sejumlah korporasi itu malah mendapatkan dana talangan dari pemerintah.



Sejumlah warga AS meminta pemerintahan di beberapa negara bagian agar membangkang pada peraturan pemerintahan pusat, yang bermarkas di Washington.

Para aktivis pembela kedaulatan negara-negara bagian dan pihak-pihak yang menginginkan pemisahan diri sama-sama setuju pada satu hal: mereka ingin lepas dari pemerintahan pusat.

”Pemerintahan pusat telah kehilangan otoritas moral,” kata Thomas Naylor, profesor ekonomi yang sudah pensiun, yang memimpin gerakan Republik Vermont Kedua. Dia adalah warga di Negara Bagian Vermont.

”Pemerintahan kami dioperasikan dan dimiliki Wall Street dan korporasi AS,” katanya. ”Emporium itu sedang ambruk. Apakah Anda ingin turut serta ambruk bersama Titanic atau mencari jalan alternatif selagi kesempatan masih ada?”

Para pakar, termasuk Jason Sorens dari University of Buffalo di New York, mengatakan, jumlah warga yang menggerutu naik. Hal itu dipicu resesi, peningkatan peran pemerintah, dan ledakan pengeluaran pemerintah pusat.

”Makin banyak niat memisahkan diri dan aksi membangkang pada peraturan pusat dibandingkan tahun 1865,” kata Kirkpatrick Sale, yang memimpin Middlebury Institute, berbasis di South Carolina. Lembaga itu mendalami isu separatisme, pemisahan diri, serta isu penentuan nasib sendiri.

Kelompok-kelompok seperti itu tetap bertahan di 10 negara bagian seperti Vermont, Hawaii, Alaska, Texas, dan di persemakmuran AS seperti Puerto Rico.

Texas terakhir kali memisahkan diri pada 1861, dan bergabung dengan 10 negara bagian di AS selatan untuk membentuk Konfederasi Amerika Serikat. Kemudian semua negara bagian bergabung di bawah AS.

”Pemisahan diri adalah solusi tunggal karena pemerintah pusat sudah ambruk dan sulit diperbaiki dengan sistem politik yang berlaku sekarang,” kata Dave Mundy, jubir Gerakan Nasionalis Texas.

JR Labbe, Redaktur Pelaksana di harian Fort Worth Star-Telegram, mengatakan, isu pemisahan sedang bergema dan dipicu teknologi informasi.

Tidak mungkin

Apakah minat pemisahan diri akan menguat dan membuat AS terpecah? Lyn Spillman, seorang pakar nasionalisme di Notre Dame University, mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin mengkristal.

”Secara umum, gerakan pemisahan diri sudah merupakan hal yang terbiasa dalam sejarah AS, tetapi rasanya sulit mendapatkan dukungan politik yang kuat,” kata Spillman.

Lembaga-lembaga politik di AS sudah amat bervariasi dan kekuasaan di banyak bidang sudah relatif tersebar dibandingkan dengan negara lain. Dengan kata lain, otonomi dan independensi di sejumlah negara bagian lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol pemerintah pusat di negara-negara lain.

Dia menambahkan, simbol-simbol AS sudah lama menekankan kemerdekaan dan keanekaragaman. Simbol-simbol seperti itu dianggap cukup mampu menetralkan para pembangkang.

Namun, Sale tidak sependapat dengan Spillman. Sale berargumentasi bahwa mulai ambruknya pamor dollar AS, protes pada perang di Irak dan Afganistan, dikombinasikan dengan isu pemanasan global, bisa mendorong tuntutan ke arah kemerdekaan di dalam sektor energi, air.

Sale menambahkan, semua hal itu juga mulai meningkatkan niat untuk membebaskan dari ketergantungan pangan pada pihak lain. ”Kombinasi akibat munculnya berbagai masalah seperti itu di masa datang akan memungkinkan munculnya keinginan memisahkan diri,” kata Sale. (AFP/mon)sabili.co.id