Sebuah fenomena menarik terjadi akhir pekan ini di Indonesia. Sebuah organisasi gay dan penyimpangan seksual lain yang bernaung dalam ILGA (International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender dan Intersex Association) bisa begitu vulgar dan ngotot akan mengadakan kongres keempatnya di negeri muslim seperti Indonesia. Tepatnya, di Surabaya.
Pertanyaan menarik, kenapa mereka bisa begitu vulgar dan berani mempromosikan sebuah acara besar seperti kongres di Indonesia? Padahal, sudah jelas-jelas, rencana kongres mereka tanggal 26 hingga 28 Maret ini ditentang hampir seluruh kalangan. Tidak kurang dari 20 ormas Islam di Surabaya menolak keras kongres gay ini. Begitu pun dengan walikota dan polwiltabes Surabaya.
Setidaknya, apa yang diucapkan ketua pelaksana kongres ILGA, Rafael Decosta, memberikan keterkejutan tersendiri. Menurutnya, pembatalan acara bukan karena adanya penolakan dan ancaman dari ormas Islam. Tapi, karena polwiltabes Surabaya tidak memberi izin.
Decosta yakin, bahwa penolakan terhadap kongres ILGA se-Asia ini lebih disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat terhadap kegiatan organisasi yang mereka lakukan. Dengan kata lain, kongres sebenarnya bukan dibatalkan, tapi ditunda. Butuh waktu untuk menjelaskan ke masyarakat Indonesia, yang menurut mereka belum memahami soal tindak tanduk ILGA.
Dari pernyataan Decosta itu, ada beberapa hal yang bisa dicermati soal gerakan ILGA di Indonesia.
Pertama, gerakan mereka di Indonesia bukan gerakan baru. Tapi sudah dimulai sejak lama. Pada tahun 1969, di Jakarta berdiri organisasi wadam (baca: gay) pertama, Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD). Organisasi ini berdiri difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta Raya, Ali Sadikin. Pada tanggal 1 Maret 1982, organisasi gay terbuka pertama di Indonesia dan Asia, Lambda Indonesia, berdiri, dengan sekretariat di Solo.
Dalam waktu singkat, terbentuklah cabang-cabangnya di Yogyakarta, Surabaya, Jakarta dan tempat tempat lain. Terbit juga buletin G: gaya hidup ceria (1982-1984). Akibat dari munculnya organisasi Lambda Indonesia, di tahun1992, terjadi ledakan berdirinya organisasi-organisasi gay di Jakarta, Pekanbaru, Bandung dan Denpasar. Juga di tahun 1993 Malang dan Ujungpandang menyusul.
Pada tahun-tahun selanjutnya, kaum gay makin banyak mendirikan organisasi dan komunitas, hanya saja belum berani unjuk diri secara terang-terangan ke masyarakat Indonesia.
Namun, akhir-akhir ini fakta itu bergeser. Pasalnya, acara-acara TV yang menampilkan sosok gay semakin banyak. Kebanyakan dari mereka muncul untuk “menginformasikan” kehidupan kaum gay kepada masyarakat. Dan, karena tampilan yang bombastis dan sering itu, masyarakat pun menjadi terbiasa, bahkan terhibur oleh penampilan para gay di layar televisi.
Salah satunya acara Empat Mata yang dibintangi oleh komedian Tukul Arwana. Pada tanggal 16 Mei 2007, Empat Mata menghadirkan seorang gay yang bernama Dede. Dede hadir menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar dunia gay.
Pemunculan Dede ini dinilai oleh sebagian pihak sebagai tanda-tanda bahwa masyarakat Indonesia mulai menerima kehadiran kaum gay, atau setidaknya mulai tumbuh rasa ingin tahu tentang kehidupan kaum gay.
Berapa sebenarnya jumlah dan perkembangan kaum gay di Indonesia? Menurut sebuah situs gay, jumlah gay yang terdaftar di web tersebut untuk kota Jakarta saja mencapai 3000 orang. Sedangkan hasil survey YPKN (Yayasan Pelangi Kasih Nusantara) menunjukkan, ada 4.000 hingga 5.000 penyuka sesama jenis di Jakarta.
Menurut Ridho Triawan, pengurus LSM Arus Pelangi, sebuah yayasan yang menaungi lesbian, gay, waria dan transjender, setidaknya ada 5000 gay serta lesbian yang hidup di Jakarta. Secara kalkulasi, pakar seksualitas Dr Boyke Dian Nugraha sempat mencatat bahwa frekuensi kaum gay yang murni adalah satu dari 10 pria.
Sedangkan LSM gay yang lain, Gaya Nusantara, memperkirakan sekitar 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homo. Angka-angka itu belum termasuk kaum homo di kota-kota besar. Dr. Dede Oetomo memperkirakan, secara nasional jumlahnya mencapai sekitar 1 persen dari total penduduk Indonesia. Kalau asumsi Dr Dede Oetomo benar, tentunya itu sebuah angka yang membelalakkan mata.
Kedua, adanya dukungan dari pejabat. Inilah yang membuat mereka yakin bisa melalui penolakan dari berbagai ormas Islam. Sebuah media massa nasional memberitakan bahwa sebelum ILGA mengajukan izin ke kepolisian Surabaya, mereka sudah mendapat izin dari Mabes Polri.
Dukungan lain juga datang dari Komnas HAM. Dengan dalih hak azazi manusia, seorang ketua Komnas HAM, Ifdal Kasim, mendukung diselenggarakannya kongres ILGA Asia di Surabaya. Menurutnya, kelompok marginal yang rentan mengalami diskriminasi ini harus tetap mendapatkan perlindungan dan hak-haknya.
Bagi Komnas HAM, pemerintah seharusnya mendukung dan memberikan hak-hak yang sama terhadap kaum marginal. Karena mereka juga merupakan bagian warga negara. “Kaum marginal juga mempunyai hak-hak berkumpul menggelar seminar atau kongres,” papar Ifdal yang mengaku sudah dihubungi pihak panitia. (inilah)
Selain itu, dukungan juga datang dari wakil ketua DPRD Jawa Timur, Sirmadji. Anggota FPDIP yang juga ketua DPC PDIP Jatim ini mendukung pelaksanaan kongres ILGA digelar di Surabaya. Menurutnya, persoalan hak azazi harus dihormati sebagaimana yang sudah diatur dalam UUD 1945.
Ketiga, pemilihan Surabaya sebagai tempat kongres di Indonesia tentu bukan asal tunjuk. Tidak tertutup kemungkinan, Jawa Timur khususnya Surabaya merupakan daerah yang mempunyai populasi gay terbesar di Indonesia. Selain itu, letak Surabaya yang berdekatan dengan lokasi wisata internasional seperti Bali mempunyai letak yang lumayan strategis.
Jika dilihat dari tempat-tempat kongres sebelumnya, lingkungan sekitar Surabaya memang mempunyai kesamaan dengan lokasi kongres kesatu hingga tiga. Kongres ILGA pertama diselenggarakan di sebuah kota wisata yang padat dengan komunitas Yahudi, yaitu Mumbai, India (2002). Kongres kedua di kota yang tidak begitu berbeda dengan yang pertama, di Cebu, Filipina (2005). Dan ketiga, di Chiang Mai, Thailand (2008).
Selain berdekatan dengan Bali, Surabaya mempunyai kompleksitas penduduk yang lebih heterogen dibanding Jakarta. Satu-satunya rumah ibadah Yahudi di Indonesia juga berada di Surabaya.
Tentunya, fenomena ini menjadi pekerjaan rumah yang berat untuk para aktivis Islam di kota-kota besar di Indonesia, khususnya Surabaya. (eramuslim.com/Mnh/berbagai sumber)
Selengkapnya...
Di Balik Keberanian Kongres Gay di Surabaya
Sejarah Tindakan Provokatif Eropa-Barat Terhadap Islam dan Sebuah Kegelisahan
LONDON - Ketika konflik masih terjadi antara Barat dan dunia Islam, saya bertanya pada diri sendiri, kenapa masih ada orang yang mencoba memprovokasi umat Islam?
Sekelompok kecil masyarakat Eropa melakukan hal itu, mengundang kemarahan umat Islam dan menyulut perlawanan dengan melakukan tindakan-tindakan pembunuhan. Provokasi tersebut salah satunya adalah ketika sebuah inspirasi seni yang mengatasnamakan kebebasan Barat menghasilkan karikatur yang mengejek Nabi Muhammad dan Al-Quran.
Provokasi-provokasi tersebut semakin berkembang seiring meningkatnya kegelisahan Eropa terhadap kelompok minoritas muslim yang tumbuh pesat. Kegelisahan tersebut bahkan sampai mengindikasikan akan adanya bentrokan peradaban di masa depan.
Peristiwa yang terjadi baru-baru ini juga semakin menyulut ketegangan dimana Partai anti-Islam di Belanda yang dimotori Geert Wilders menggalang wacana untuk melarang jilbab seperti yang telah diterapkan Prancis. Kemudian Swiss dengan tegas melarang umat Islam membangun menara-menara masjid dan berita yang paling baru, Irlandia dan Amerika Serikat menangkap para tersangka yang diduga melakukan konspirasi pembunuhan dan tindakan teror.
Lars Vilks adalah seseorang seniman Swedia yang pernah menggambar karikatur hitam putih Nabi Muhammad dengan tubuh anjing pada tahun 2007. Pihak berwenang setempat mengatakan aksinya tersebut membuat dirinya menjadi target dari sebuah rencana pembunuhan yang akan dilakukan oleh sekolompok orang, termasuk Colleen LaRose, 46 tahun, muallaf dari Pennsylvania yang menjuluki dirinya "Jihad Jane."
Vilks mengatakan dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan The Associated Press bahwa ia tidak bermaksud menyinggung perasaan Muslim, tetapi ia hanya ingin menunjukkan kalau ia bisa membuat karya seni provokatif yang bebas dari setiap topik yang ia inginkan. "Tidak ada yang begitu suci dan tidak dapat disinggung." katanya.
Surat kabar Denmark Jyllands-Posten juga mengatasnamakan kebebasan saat mencetak 12 gambar kartun Nabi Muhammad pada tahun 2005 lalu, salah satunya menggambarkan sebuah sorban berbentuk bom. Tindakan provokatif tersebut spontan mengundang protes dan dan aksi pembakaran kedutaan-kedutaan Denmark di beberapa negara-negara Muslim. Kemudian sebagai bentuk kegelisahan, politikus Belanda, Geert Wilders memproduksi film Fitna, sebuah film 15-menit yang meletakkan gambar-gambar serangan 11 September di samping ayat-ayat dari Quran. Wilders menyebut film tersebut sebagai usaha untuk mempertahankan nilai-nilai Eropa. Film ini ditampilkan dalam Britain's House of Lords bulan ini.
Perancis, rumah bagi sedikitnya lima juta dari perkiraan 14 juta umat Islam di Eropa dan Barat tahun lalu mengadakan dialog khusus di parlemen tentang apa yang harus dilakukan untuk menanggapi penggunaan cadar yang semakin marak. Dialog tersebut mengahasilkan rekomendasi larangan penggunaan cadar di bus, kereta api, rumah sakit, kantor pos dan tempat-tempat umum lainnya.
Berikutnya pada bulan Desember tahun lalu, sebagian besar penduduk Swiss mendukung ide untuk melarang pembangunan menara-menara masjid yang baru.
Jan Hjarpe, seorang profesor emeritus studi Islam di Universitas Lund di Swedia selatan, yang tinggal di dekat rumah kartunis Vilks mengatakan kalau provokasi-provokasi yang diarahkan kepada umat Islam justru akan membantu munculnya gerakan perlawanan dari orang-orang yang sering disebut Eropa dan Barat sebagai ekstrimis Islam. Mereka akan mudah menargetkan pihak-pihak yang menjadi lawan mereka dan tindakan tersebut justru akan mendapat banyak simpati dari dunia Islam.
Kemarahan, ancaman dan kekerasan terhadap provokasi-provokasi Eropa dan Barat memang bukan hal baru. Kita masih ingat Salman Rushdie yang terpaksa bersembunyi di Inggris selama satu dekade saat Ayatollah Khomeini di Iran mengeluarkan fatwa tahun 1989, memerintahkan umat Islam untuk membunuhnya karena bukunya, "The Satanic Verses, " yang sangat menghina Islam.
Rushdie pun selamat, tetapi pada tahun 2004, seorang pembuat film, Theo van Gogh dibunuh di sebuah jalan di Amsterdam oleh Mohammed Bouyeri, seorang muslim Belanda keturunan Maroko yang marah terhadap film "Submission," sebuah film tentang studi fiktif yang melecehkan perempuan Islam dengan menampilkan adegan wanita yang hampir telanjang dengan teks-teks Al-Quran muncul di tubuh mereka.
Van Gogh ditembak berulang kali, dan lehernya dipotong. Sebuah surat yang ditempelkan di dadanya dengan pisau juga mengancam Ayaan Hirsi Ali, seorang pengkritik vokal Islam radikal yang membantu menulis skenario film tersebut.
"Aku akhirnya bertanya-tanya apakah tatanan liberal yang mengatasnamakan kebebasan benar-benar sangat begitu lemah dan tidak layak, melakukan tindakan-tindakan provokatif yang justru suatu saat akan menjadi bumerang."
(tulisan kolumnis Washington Post, Anne Applebaum)
[muslimdaily.net]
Selengkapnya...